Lelaki itu terlihat gelisah, menatap awan yang mulai berubah kelabu, dari balik jendela. Gerimis mulai berjatuhan membasahi tanah dan pepohonan di halaman rumahnya yang terbuat dari anyaman bambu. Bau tanah basah yang menyerebak di udara, tidak mengurangi kegelisahannya. Bahkan semakin menjadi, ketika awan menumpahkan air yang tak sanggup lagi ditampungnya. Hujan turun dengan derasnya, membentuk tirai yang menghalangi pandanganya sedari tadi, pada hamparan sawah yang mulai menguning. Guratan kegelisahan semakin tampak diwajahnya.
Air mulai menetes dari atap jerami rumahnya, yang memang sudah lapuk dimakan cuaca. Selapuk harapannya pada panen yang sebentar lagi tiba. Ditengadahkan pandangannya sjenak pada atap rumahnya yang bocor, lalu kemudian melemparkan pandanganya kembali keluar sana. Pada hamparan padi yang mulai merunduk berisi bulir-bulir harapan untuk lumbungnya yang mulai terlihat kosong.
Pikiranya mengambang pada genangan air yang mulai terbentuk disana-sini. Teringat beberpa masa lampau, ketika hujan merupakan anugrah bagi dirinya dan bagi sebagian besar penduduk desa yang masih mempertahankan tradisi turun temurun. Ketika musim masih datang silih berganti dengan teratur, bukit yang masih ditumbuhi pepohonan, pupuk-pupuk kimia belum mencemari tanah, jalanan belum berubah menjadi aspal dan ketika rumah belum berubah jadi tembok-tembok beton yang hanya di huni para lelaki dan anak-anak yang ditinggalkan istri-istrinya menjadi TKI di negeri orang. Memang, ketika musim sudah sulit ditebak, sungai yang kerap meluap ketika hujan datang.
Sebagian dari penduduk desa memutuskan untuk pergi meninggalkan desanya. Berdalih mencari penghasilan yang jauh lebih layak di negeri orang. Begitu juga dengan istrinya, meninggalkan dirinya dan anak semata wayangnya yang baru berumur 5 tahun ketika itu. Sebagian ada yang pulang dengan keberhasilan yang melimpah, namun sebagian lagi pulang denan cerita yang memilukan, bahkan ada yang pulang dengan peti mati. Termasuk istrinya, dengan diantar mobil jenazah dan seseorang yang mengaku perwakilan PJTKI, ia menerima jasad istrinya yang terbujur kaku dalam peti jenazah. Memang tersiar kabar sebelumnya, istrinya “terjatuh” dari lantai 10 apatemen tempatnya bekerja. Tapi Ia telah buang jauh-jauh peristiwa itu, kini ia kembali merenda kehidupan barunya bersama seorang janda beranak satu dari desa sebelah yang ia nikahi. ” Sebab seorang lelaki tidak bisa hidup sendiri tanpa seorang perempuan disampingnya” ungkapnya suatu ketika.
Hujan tak kunjung reda di luar sana, bahkan semakin lebat. Sudah hampir dua minggu hujan mengguyur desanya. Tanggul-tanggul irigasi mulai jebol, tak sanggup lagi menampung air sungai yang mulai meninggi permukaannya. Tak ada yang dapat ia perbuat, tatapannya nanar, menyaksikan sawah yang mulai berupa menjadi genangan air.
Bumi semakin renta, tak sanggup lagi menanggung beban curahan air yang turun dari langit bercampur airmata keluarga dari para TKI yang pulang membawa cerita pilu dari negeri seberang.
by: Tepian Batanghari, 09 Juli 2010.
Bumi Semakin Tua
Air mulai menetes dari atap jerami rumahnya, yang memang sudah lapuk dimakan cuaca. Selapuk harapannya pada panen yang sebentar lagi tiba. Ditengadahkan pandangannya sjenak pada atap rumahnya yang bocor, lalu kemudian melemparkan pandanganya kembali keluar sana. Pada hamparan padi yang mulai merunduk berisi bulir-bulir harapan untuk lumbungnya yang mulai terlihat kosong.
Pikiranya mengambang pada genangan air yang mulai terbentuk disana-sini. Teringat beberpa masa lampau, ketika hujan merupakan anugrah bagi dirinya dan bagi sebagian besar penduduk desa yang masih mempertahankan tradisi turun temurun. Ketika musim masih datang silih berganti dengan teratur, bukit yang masih ditumbuhi pepohonan, pupuk-pupuk kimia belum mencemari tanah, jalanan belum berubah menjadi aspal dan ketika rumah belum berubah jadi tembok-tembok beton yang hanya di huni para lelaki dan anak-anak yang ditinggalkan istri-istrinya menjadi TKI di negeri orang. Memang, ketika musim sudah sulit ditebak, sungai yang kerap meluap ketika hujan datang.
Sebagian dari penduduk desa memutuskan untuk pergi meninggalkan desanya. Berdalih mencari penghasilan yang jauh lebih layak di negeri orang. Begitu juga dengan istrinya, meninggalkan dirinya dan anak semata wayangnya yang baru berumur 5 tahun ketika itu. Sebagian ada yang pulang dengan keberhasilan yang melimpah, namun sebagian lagi pulang denan cerita yang memilukan, bahkan ada yang pulang dengan peti mati. Termasuk istrinya, dengan diantar mobil jenazah dan seseorang yang mengaku perwakilan PJTKI, ia menerima jasad istrinya yang terbujur kaku dalam peti jenazah. Memang tersiar kabar sebelumnya, istrinya “terjatuh” dari lantai 10 apatemen tempatnya bekerja. Tapi Ia telah buang jauh-jauh peristiwa itu, kini ia kembali merenda kehidupan barunya bersama seorang janda beranak satu dari desa sebelah yang ia nikahi. ” Sebab seorang lelaki tidak bisa hidup sendiri tanpa seorang perempuan disampingnya” ungkapnya suatu ketika.
Hujan tak kunjung reda di luar sana, bahkan semakin lebat. Sudah hampir dua minggu hujan mengguyur desanya. Tanggul-tanggul irigasi mulai jebol, tak sanggup lagi menampung air sungai yang mulai meninggi permukaannya. Tak ada yang dapat ia perbuat, tatapannya nanar, menyaksikan sawah yang mulai berupa menjadi genangan air.
Bumi semakin renta, tak sanggup lagi menanggung beban curahan air yang turun dari langit bercampur airmata keluarga dari para TKI yang pulang membawa cerita pilu dari negeri seberang.
by: Tepian Batanghari, 09 Juli 2010.
Bumi Semakin Tua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan bijak.