Sore buta, hujan gerimis membasuh luka. Selintas teringat ungkapan kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa. Apakah hanya kasih Ibu saja yang sepanjang masa? saya rasa tidak!. Ayah juga punya kasih sepanjang masa, hanya saja caranya yang berbeda. Saya di besarkan oleh Ayah yang memiliki sifat keras dalam mendidik pada anak–anaknya. Bentakan, hardikan dan juga pukulan sudah sering saya terima, dan itu membekas di hati, pikiran di masa depan. Ada yang mengatakan anak kecil tak kan mudah melupakan, tapi ia terbuka dengan rasa maaf yang terdalam.
Masa kecilku dulu selalu diliputi ketakutan, apalagi kalau aku berbuat salah, bayangan Ayah saja sudah membuatku bergetar hebat, suara Ayah yang keras dan wajah seramnya (di kala marah) itu membuatku secara psikologis tertekan hebat.
Saya tumbuh dan besar di mana Ayah memiliki pandangan yang keliru dalam mendidik anak–anaknya, ia berfikir bahwa pendekatan hukuman (fisik dan fsikis) akan membuat anak–anaknya patuh dan menurut. Tapi sayangnya, semuanya hanya di depan matanya saja, kepatuhan dalam ketakutan hanya melahirkan jiwa–jiwa pemberontak. Dan tanpa ia sadari, aku lahir sebagai pemberontak terhadapnya. Di antara saudara–saudaraku, aku yang paling sulit untuk berkomunikasi dengannya, bukan karena benci atau tidak suka. Tapi karena Ayah tipikal orang tua yang sulit di bantah ucapannya, dan aku tak ingin bertengkar dengannya.
Masa pun berganti, aku yang dahulu lemah tak berdaya dan mengantungkan apa pun padanya, kini menjadi pribadi yang mandiri dan berusaha memenuhi kebutuhanku tanpa meminta kepadanya dan itu membuatku makin jauh padanya. Aku ingat pada masa kecilku dulu, aku hidup bersamanya dengan masa kemakmuran dan juga kemiskinan. Dan itu terekam jelas dan berbekas, hingga membuatku merasa cemas pada dua hal itu akan datang padaku pada saat aku berkeluarga nanti.
Cerita Pendek, Di antara masa kemakmuran yang penuh dengan kemudahan dan kemewahan, jujur aku tak mengingkannya semuanya kemewahan itu, bukan karena aku menolaknya tapi karena Ayah menjadi sosok yang berbeda bagiku. Tak ku pungkiri kalau aku pun menikmati kemewahan tersebut, siapa yang menolak uang jajan yang banyak, dan kemudahan lainnya. Tapi itu berbahaya bagiku dan membuatku lemah suatu saat nanti. Dan aku pun bersyukur bahwa ketika kemudahan itu datang, aku bukan bagian dari anaknya yang mengemis kemudahan tersebut.
Aku pun pernah bersamanya pada kemiskinan, yang membuat kami harus pindah kerumah yang sangat kecil dan buruk, tapi aku mensyukurinya. Aku ingat bagaimana atap rumah kamu yang bolong dan bila malam nyamuk begitu banyaknya hingga aku tertidur bak mummi yang semua tubuhku tertutup kain yang tebal, dan itu membuatku selalu terbangun tengah malam, karena rasa panas menderaku.
Aku pun ingat bagaimana ketika rasa lapar menyerang, tapi yang ada di meja makan hanya nasi bubur dan itu pun harus di panasi dahulu agar lebih enak rasanya. Pada saat itu, catatan flashback, aku masih duduk di bangku SMP. Aku teringat bagaimana aku hanya di beri ongkos untuk naik bus ke sekolah karena tidak ada uang jajan padaku dan aku harus menjaga baik–baik uang tersebut agar tidak hilang atau ku habiskan untuk jajan, lalu bagaimana ketika jam istrihat datang, untungnya teman–teman kelasku mau berbagi padaku. Apakah aku menyalahkanmu Ayah? tentu saja tidak, aku teringat bagaimana Ibu menangis karena melihat kami (bersaudara) memakan nasi bubur, padahal dulu kami tidak pernah kekurangan. Dan aku tidak menyalahkanmu, aku hanya bersedih ketika Ayah dan Ibu bertengkar di saat hidup kita seperti ini.
Ada peristiwa yang membuatku begitu sedih melihatmu, ketika Ayah datang dengan berjalan kaki dari tempat yang jauh dan membawa beberapa bungkus indomie untuk makan kami, aku melihatmu di pinggir jalan dengan wajahmu yang lelah dan berat, saat itu aku hatiku menangis melihat perjuanganmu untuk kami. Sayang aku masih SMP pada saat itu, belum mampu untuk membantumu mencari uang, bersikap tidak menjadi bebanmu untuk meminta apa pun yang akan menjadi bebanmu itu lah kata hatiku pada saat itu.
Aku teringat masa itu, lebih dari setahun, hidup seperti itu. Ayah jarang pulang kerumah, hanya pulang jika membawa uang untuk kami sekeluarga. Tuhan, apakah seberat itu tanggung jawab sebagai Ayah? Mengapa hidup ini begitu berat dan penuh tanggisan dan kesedihan. Aku percaya bahwa semua ini adalah pelajaran, pelajaran buat kami sekeluarga, Cerpen.
Masa pun berganti, ketabahan akan menghasilkan buahnya di kemudian hari, Ayah mulai bangkit kembali dan secara perlahan mengeluarkan kami dari rumah yang kecil menuju rumah yang lebih baik. Keadaan pun membaik, apa yang hilang kini telah datang kembali. Allah menganti semuanya dan kini telah ada di depan mata. Keadaan pun berganti, kemakmuran merubah semuanya, saya percaya kalau kemiskinan membuat kita rendah diri sebagaimana kemakmuran membuat kita lupa diri. Dan itu adalah kenyataannya di keluarga ini dan aku termasuk di dalamnya.
Aku termasuk orang yang memiliki sifat yang keras, mungkin ini di wariskan dari Ayahku, aku yang kehilangan sosok panutan di rumah membuatku “lari” dan keluar dari rumah. Aku pun belajar banyak di jalan, hidup di antara putih dan hitamnya kehidupan dan itu membuatku mengerti dan mengenal kehidupan. Kini aku beranjak dewasa dan Ayah pun semakin menua, kami jarang bersua, hubungan Ayah dan anak sungguh seperti tak ada, kalau pun bertemu tak ada kata–kata suara. Ingin rasanya untuk memulai bicara tapi sulit lidah ini untuk berkata dan aku tahu mengapa.
Sepanjang hidupku aku tahu kalau aku selalu di nomor duakan, di antara lainnya selalu aku yang di kalahkan, tapi aku tahu mengapa bukan aku yang mendapatkan, karena aku selalu menolak dan melawan apa mau mu dan aku menerima apa pilihanmu. Tapi karena semua itulah aku menjadi pribadi yang kuat, dan berusaha mencukupi semua kebutuhanku sendiri, bukan seperti anak–anak kesayangmu, yang sampai detik ini masih menjadi beban untukmu. Tapi aku tidak bukan? Karena aku menolak semua pemberianmu sebelum kau memberikannya padaku, bahkan ketika aku jatuh hancur pun aku memilih bangkit sendiri tanpa mu, jalan itu ku pilih bukan karena kesombonganku tapi karena aku ingin tetap tegar sampai tak ada jalan kembali untukku.
Ayah tipikal pekerja keras, aku tahu itu, aku pun termasuk kagum pada kerja keras beliau, seorang tamatan SMA yang memiliki pergaulan yang luas, teman–temannya di mana–mana, sampai aku merasa ia sudah seperti “pejabat” saja. Tak ada yang sulit baginya, rumah dengan harga ratusan juta terbeli, mobil pun terbeli, motor dengan mudah ia berikan pada anak–anaknya. Saya heran dengan kecekatan dan ketepatan bisnisnya. Dari kere, makmur, berlimpah kemudian jatuh miskin, lalu naik lagi dan kemudian berhenti, tapi ia masih terus memberi nafkah kepada anak– naknya, walau sebagian di antara mereka sudah tidak layak mendapatkannya.
Yang kusayangkan mengapa semangat kerja Ayah tidak menurun kepada anak–anaknya, sebagian besar dari mereka malah terus berada “di ketiak” nya. Aku merasa Ayah lah penyebab mengapa saudara–saudaraku seperti itu, terlalu memanjakan mereka, dan memberi kemewahan kepada mereka.
Pada suatu hari kakak memberi kabar untukku, mengabarimu yang terbaring lemah di sana, kau sakit. Aku hanya bisa terdiam untuk beberapa lama dan hatiku berduka. Aku sayang padamu walau tak pernah ku perlihatkan padamu. Aku pun berdoa kepadaNya agar penyakitmu di angkat dan di bebaskan dari rasa sakit yang membuatmu menderita. Aku mencemaskanmu Ayah, ingin rasanya aku duduk di sampingmu tapi sungguh aku tak punya kekuatan untuk itu, aku tahu bahwa engkau ingin dekat denganku sebagaimana aku pun ingin dekat denganmu. Tapi aku yakin Ayah bahwa engkau tahu bahwa aku menyayangimu sebagaimana aku tahu kalau engkau juga menyayangiku.
Di masa kecil dulu, aku ingat bagaimana Ayah selalu mengajakku berkeliling di kota kelahiranku. Pada saat itu aku masih kecil, duduk di depan Ayah yang mengendarai motor, di boncengin Ayah adalah salah satu kenangan terindah untukku, aku tak pernah lupa itu. Ingin rasanya kembali pada masa kecil dulu, ketika aku begitu dekat denganmu. Ayah apa kabarmu di sana, aku ingin di berkeliling lagi dengan sepeda motor itu, di kota Medan tempat ku di lahirkan, tempat masa kecilku yang begitu dekat denganmu, aku merindukan semua itu Ayah, aku merindukan semuanya.
Angin bertiup kencang dan menerbangkan daun–daun yang berguguran, senja mulai tertutup gelapnya langit malam. Setelah menyeka pipiku yang basah, aku berjalan pelan meninggalkan tanah–tanah yang bertiang nama-nama. “Ayah, malam telah datang, aku pamit pulang ya …”.
Masa kecilku dulu selalu diliputi ketakutan, apalagi kalau aku berbuat salah, bayangan Ayah saja sudah membuatku bergetar hebat, suara Ayah yang keras dan wajah seramnya (di kala marah) itu membuatku secara psikologis tertekan hebat.
Saya tumbuh dan besar di mana Ayah memiliki pandangan yang keliru dalam mendidik anak–anaknya, ia berfikir bahwa pendekatan hukuman (fisik dan fsikis) akan membuat anak–anaknya patuh dan menurut. Tapi sayangnya, semuanya hanya di depan matanya saja, kepatuhan dalam ketakutan hanya melahirkan jiwa–jiwa pemberontak. Dan tanpa ia sadari, aku lahir sebagai pemberontak terhadapnya. Di antara saudara–saudaraku, aku yang paling sulit untuk berkomunikasi dengannya, bukan karena benci atau tidak suka. Tapi karena Ayah tipikal orang tua yang sulit di bantah ucapannya, dan aku tak ingin bertengkar dengannya.
Masa pun berganti, aku yang dahulu lemah tak berdaya dan mengantungkan apa pun padanya, kini menjadi pribadi yang mandiri dan berusaha memenuhi kebutuhanku tanpa meminta kepadanya dan itu membuatku makin jauh padanya. Aku ingat pada masa kecilku dulu, aku hidup bersamanya dengan masa kemakmuran dan juga kemiskinan. Dan itu terekam jelas dan berbekas, hingga membuatku merasa cemas pada dua hal itu akan datang padaku pada saat aku berkeluarga nanti.
Cerita Pendek, Di antara masa kemakmuran yang penuh dengan kemudahan dan kemewahan, jujur aku tak mengingkannya semuanya kemewahan itu, bukan karena aku menolaknya tapi karena Ayah menjadi sosok yang berbeda bagiku. Tak ku pungkiri kalau aku pun menikmati kemewahan tersebut, siapa yang menolak uang jajan yang banyak, dan kemudahan lainnya. Tapi itu berbahaya bagiku dan membuatku lemah suatu saat nanti. Dan aku pun bersyukur bahwa ketika kemudahan itu datang, aku bukan bagian dari anaknya yang mengemis kemudahan tersebut.
Aku pun pernah bersamanya pada kemiskinan, yang membuat kami harus pindah kerumah yang sangat kecil dan buruk, tapi aku mensyukurinya. Aku ingat bagaimana atap rumah kamu yang bolong dan bila malam nyamuk begitu banyaknya hingga aku tertidur bak mummi yang semua tubuhku tertutup kain yang tebal, dan itu membuatku selalu terbangun tengah malam, karena rasa panas menderaku.
Aku pun ingat bagaimana ketika rasa lapar menyerang, tapi yang ada di meja makan hanya nasi bubur dan itu pun harus di panasi dahulu agar lebih enak rasanya. Pada saat itu, catatan flashback, aku masih duduk di bangku SMP. Aku teringat bagaimana aku hanya di beri ongkos untuk naik bus ke sekolah karena tidak ada uang jajan padaku dan aku harus menjaga baik–baik uang tersebut agar tidak hilang atau ku habiskan untuk jajan, lalu bagaimana ketika jam istrihat datang, untungnya teman–teman kelasku mau berbagi padaku. Apakah aku menyalahkanmu Ayah? tentu saja tidak, aku teringat bagaimana Ibu menangis karena melihat kami (bersaudara) memakan nasi bubur, padahal dulu kami tidak pernah kekurangan. Dan aku tidak menyalahkanmu, aku hanya bersedih ketika Ayah dan Ibu bertengkar di saat hidup kita seperti ini.
Ada peristiwa yang membuatku begitu sedih melihatmu, ketika Ayah datang dengan berjalan kaki dari tempat yang jauh dan membawa beberapa bungkus indomie untuk makan kami, aku melihatmu di pinggir jalan dengan wajahmu yang lelah dan berat, saat itu aku hatiku menangis melihat perjuanganmu untuk kami. Sayang aku masih SMP pada saat itu, belum mampu untuk membantumu mencari uang, bersikap tidak menjadi bebanmu untuk meminta apa pun yang akan menjadi bebanmu itu lah kata hatiku pada saat itu.
Aku teringat masa itu, lebih dari setahun, hidup seperti itu. Ayah jarang pulang kerumah, hanya pulang jika membawa uang untuk kami sekeluarga. Tuhan, apakah seberat itu tanggung jawab sebagai Ayah? Mengapa hidup ini begitu berat dan penuh tanggisan dan kesedihan. Aku percaya bahwa semua ini adalah pelajaran, pelajaran buat kami sekeluarga, Cerpen.
Masa pun berganti, ketabahan akan menghasilkan buahnya di kemudian hari, Ayah mulai bangkit kembali dan secara perlahan mengeluarkan kami dari rumah yang kecil menuju rumah yang lebih baik. Keadaan pun membaik, apa yang hilang kini telah datang kembali. Allah menganti semuanya dan kini telah ada di depan mata. Keadaan pun berganti, kemakmuran merubah semuanya, saya percaya kalau kemiskinan membuat kita rendah diri sebagaimana kemakmuran membuat kita lupa diri. Dan itu adalah kenyataannya di keluarga ini dan aku termasuk di dalamnya.
Aku termasuk orang yang memiliki sifat yang keras, mungkin ini di wariskan dari Ayahku, aku yang kehilangan sosok panutan di rumah membuatku “lari” dan keluar dari rumah. Aku pun belajar banyak di jalan, hidup di antara putih dan hitamnya kehidupan dan itu membuatku mengerti dan mengenal kehidupan. Kini aku beranjak dewasa dan Ayah pun semakin menua, kami jarang bersua, hubungan Ayah dan anak sungguh seperti tak ada, kalau pun bertemu tak ada kata–kata suara. Ingin rasanya untuk memulai bicara tapi sulit lidah ini untuk berkata dan aku tahu mengapa.
Sepanjang hidupku aku tahu kalau aku selalu di nomor duakan, di antara lainnya selalu aku yang di kalahkan, tapi aku tahu mengapa bukan aku yang mendapatkan, karena aku selalu menolak dan melawan apa mau mu dan aku menerima apa pilihanmu. Tapi karena semua itulah aku menjadi pribadi yang kuat, dan berusaha mencukupi semua kebutuhanku sendiri, bukan seperti anak–anak kesayangmu, yang sampai detik ini masih menjadi beban untukmu. Tapi aku tidak bukan? Karena aku menolak semua pemberianmu sebelum kau memberikannya padaku, bahkan ketika aku jatuh hancur pun aku memilih bangkit sendiri tanpa mu, jalan itu ku pilih bukan karena kesombonganku tapi karena aku ingin tetap tegar sampai tak ada jalan kembali untukku.
Ayah tipikal pekerja keras, aku tahu itu, aku pun termasuk kagum pada kerja keras beliau, seorang tamatan SMA yang memiliki pergaulan yang luas, teman–temannya di mana–mana, sampai aku merasa ia sudah seperti “pejabat” saja. Tak ada yang sulit baginya, rumah dengan harga ratusan juta terbeli, mobil pun terbeli, motor dengan mudah ia berikan pada anak–anaknya. Saya heran dengan kecekatan dan ketepatan bisnisnya. Dari kere, makmur, berlimpah kemudian jatuh miskin, lalu naik lagi dan kemudian berhenti, tapi ia masih terus memberi nafkah kepada anak– naknya, walau sebagian di antara mereka sudah tidak layak mendapatkannya.
Yang kusayangkan mengapa semangat kerja Ayah tidak menurun kepada anak–anaknya, sebagian besar dari mereka malah terus berada “di ketiak” nya. Aku merasa Ayah lah penyebab mengapa saudara–saudaraku seperti itu, terlalu memanjakan mereka, dan memberi kemewahan kepada mereka.
Pada suatu hari kakak memberi kabar untukku, mengabarimu yang terbaring lemah di sana, kau sakit. Aku hanya bisa terdiam untuk beberapa lama dan hatiku berduka. Aku sayang padamu walau tak pernah ku perlihatkan padamu. Aku pun berdoa kepadaNya agar penyakitmu di angkat dan di bebaskan dari rasa sakit yang membuatmu menderita. Aku mencemaskanmu Ayah, ingin rasanya aku duduk di sampingmu tapi sungguh aku tak punya kekuatan untuk itu, aku tahu bahwa engkau ingin dekat denganku sebagaimana aku pun ingin dekat denganmu. Tapi aku yakin Ayah bahwa engkau tahu bahwa aku menyayangimu sebagaimana aku tahu kalau engkau juga menyayangiku.
Di masa kecil dulu, aku ingat bagaimana Ayah selalu mengajakku berkeliling di kota kelahiranku. Pada saat itu aku masih kecil, duduk di depan Ayah yang mengendarai motor, di boncengin Ayah adalah salah satu kenangan terindah untukku, aku tak pernah lupa itu. Ingin rasanya kembali pada masa kecil dulu, ketika aku begitu dekat denganmu. Ayah apa kabarmu di sana, aku ingin di berkeliling lagi dengan sepeda motor itu, di kota Medan tempat ku di lahirkan, tempat masa kecilku yang begitu dekat denganmu, aku merindukan semua itu Ayah, aku merindukan semuanya.
Angin bertiup kencang dan menerbangkan daun–daun yang berguguran, senja mulai tertutup gelapnya langit malam. Setelah menyeka pipiku yang basah, aku berjalan pelan meninggalkan tanah–tanah yang bertiang nama-nama. “Ayah, malam telah datang, aku pamit pulang ya …”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan bijak.