Di bawah teriknya matahari siang, hari sabtu yang kedatangannya dinantikan selama 4 tahun menyelami bangku kuliah. Seorang perempuan dengan kebaya cantiknya berjalan menenteng topi toga dan ijazah yang baru diterimanya.
Dia mencari sosok yang dikenalnya, sosok yang ia pun tahu tidak mungkin datang saat itu. Tapi sudut matanya tetap saja bergerilya mencari sosok yang diharapkannya. Bukan bunda, bukan ayah, bukan abang dan adiknya, bukan pula teman-teman se-genk-nya karena mereka sudah pasti hadir di sini.
Dipasangnya wajah penuh senyum setiap kamera men-shoot wajahnya, senyum getir tentunya. Jika ini bukan hari besarnya sudah barang tentu dia tidak mau difoto dengan senyum pura-pura. Dia menyadari bahwa dia tokoh utama dalam acara kali ini, keluarga dan teman-teman hanyalah figuran yang ikut merayakan keberhasilannya menyandang gelar sarjana. Dia merasa sendiri di tengah hingar bingar kebahagiaan.
Dia resah mengingat pertemuan terakhirnya dua bulan yang lalu, saat itu tak sepatah katapun diucapkannya sebagai jawaban dari pertanyaan si laki-laki. Impian yang mereka bayangkan terasa begitu manis, begitu menawan, tapi hanya mimpi belaka jika tanpa jawaban ‘iya’ darinya.
Dia mencari sosok yang dikenalnya, sosok yang ia pun tahu tidak mungkin datang saat itu. Tapi sudut matanya tetap saja bergerilya mencari sosok yang diharapkannya. Bukan bunda, bukan ayah, bukan abang dan adiknya, bukan pula teman-teman se-genk-nya karena mereka sudah pasti hadir di sini.
Dipasangnya wajah penuh senyum setiap kamera men-shoot wajahnya, senyum getir tentunya. Jika ini bukan hari besarnya sudah barang tentu dia tidak mau difoto dengan senyum pura-pura. Dia menyadari bahwa dia tokoh utama dalam acara kali ini, keluarga dan teman-teman hanyalah figuran yang ikut merayakan keberhasilannya menyandang gelar sarjana. Dia merasa sendiri di tengah hingar bingar kebahagiaan.
Dia resah mengingat pertemuan terakhirnya dua bulan yang lalu, saat itu tak sepatah katapun diucapkannya sebagai jawaban dari pertanyaan si laki-laki. Impian yang mereka bayangkan terasa begitu manis, begitu menawan, tapi hanya mimpi belaka jika tanpa jawaban ‘iya’ darinya.
Cerpen Rasa Cinta Terpendam
Perempuan itu mencintai si laki-laki sepenuhnya, tapi dia takut.
Dia ingin menjawab iya tapi takut untuk mengungkapkan
Dia ingin menjawab iya tapi takut kehilangan impian yang sudah dirancangnya
Dia ingin menjawab iya tapi takut menghambat ambisi-ambisi terpendamnya
Kemegahan bangunan kampus seolah mengahardik ketakutan-ketakutannya yang dangkal, menertawakan logikanya yang bersebrangan dengan kata hatinya. Ingin sekali dia mengulang masa itu dan dengan lantang menjawab IYA. Kini semua sudah terlambat, si laki-laki sudah jauh di belahan bumi yang lain. Perempuan itu hendak berteriak sejadi-jadinya mengabaikan orang-orang disekitarnya, namun mulutnya terkunci.
Dalam mobil keluarganya perempuan itu menyusuri gerbang keluar dari kampus. Dilihatnya tumpukan bunga-bunga dan kado yang dia dapat hari ini. Matanya tertuju pada bungkusan kado berwarna hijau. Wolfsburg, dibacanya kota asal pengirimnya di sudut kanan atas. Jantungnya berdetak cepat demi membuka kertas pembungkusnya. Sebuah scrapbook warna coklat muda, terselip selembar kartu ucapan di dalamnya.
“Jika kamu mau, rancanglah impian-impianmu di scrapbook ini. Dua tahun lagi aku akan datang untuk mengeceknya. Apakah rancanganmu sudah benar atau belum. Semoga Allah menghalalkanku masuk di setiap inchi kehidupanmu pada saat itu”
Sekarang perempuan itu hanya bisa mempersembahkan senyuman terbaiknya. Dua tahun lagi akan dipersembahkannya rancangan kehidupan terbaik yang bisa dibuatnya untuk si laki-laki. Dua tahun yang akan sangat dinantikannya, sebuah penantian panjang.
Cerita Pendek: Rasa Terpendam dalam Penantian Panjang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan bijak.